Rabu, 12 Juli 2017

Indahnya Persaudaraan





Persaudaraan merupakan hal yang sangat penting dalam agama Islam. Hal itu berhubungan erat dengan keimanan seseorang. Di dalam ajaran Islam, persaudaraan bukan hanya menyangkut hubungan antar dua orang atau lebih secara horisontal, tetapi juga menyangkut keimanan dan ketaatan seseorang terhadap Allah ta’ala.
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al Hujurat: 10)
Di dalam ayat tersebut Allah menggunakan lafadz ikhwatun (إخوة) untuk menyebut persaudaraan antar mukmin. Padahal lafadz ikhwatun dalam bahasa Arab berarti saudara kandung. Untuk menyebut persaudaraan dengan orang lain yang bukan saudara kandung, sepadan dengan kata persahabatan atau pertemanan, di dalam bahasa Arab digunakan lafadz ikhwanun (  إخوان ). Hal ini mengindikasikan bahwa berdasarkan tuntunan al-Qur`an, seyogyanya setiap mukmin itu menganggap dan memperlakukan mukmin yang lain sebagai saudara kandungnya sendiri. Hendaknya setiap mukmin senantiasa berusaha menumbuhkan, memupuk dan menjaga persaudaraan dengan mukmin lainnya layaknya ia melakukan upaya tersebut terhadap saudara kandungnya.
Apa yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan, memupuk dan menjaga persaudaraan?
Allah ta’ala,Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in, dan ulama telah memberikan pentunjuk sekaligus teladan bagaimana cara menumbuhkan, memupuk dan menjaga persaudaraan antar orang-orang yang beriman.
1.     Menyadari bahwa Allah ta’ala menciptakan manusia dengan karakter yang berbeda-beda
Perbedaan adalah sunnatullah. Adanya manusia dengan wajah, bentuk, warna kulit, karakter, watak, dan tabiat yang berbeda-beda adalah salah satu kehendak Ilahi yang selayaknya kita sadari. Hal ini penting agar kita tidak selalu berharap atau bahkan memaksa orang lain agar senantiasa sependapat dengan kita. Justru sebaiknya kita belajar untuk memahami orang lain; memahami latar belakang kehidupannya, tabiat dan wataknya, kesenangannya, hal-hal yang dia tidak sukai, dan kecenderungannya. Dengan menyadari bahwa tidak semua manusia sama dan mencoba memahami kepribadian orang lain, dalam hal ini saudara sesama mukmin, insyaAllah kita akan siap membangun hubungan persaudaraan dengan setiap orang yang beriman.
2.     Menebar salam
Salam merupakan pembuka pintu persaudaraan. Salam merupakan simpul awal dari sebuah tali persaudaraan yang kuat. Salam merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa saling mencintai di qolbu orang-orang yang beriman.Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ ؟أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian mengerjakannya maka kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian”. (HR. Imam Muslim no. 203)
Mari kita membiasakan diri untuk mengucapkan salam kepada saudara sesama mukmin, baik yang kita kenal, maupun yang tidak kita kenal.
3.     Itsar
Abu Hurairah  radhiyallahu ‘anhu bercerita: seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengeluh kepayahan dan kelaparan. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada para isteri, namun ternyata mereka semua tak memiliki sedikitpun makanan untuk disuguhkan. Beliau pun bersabda; “Adakah seseorang yang menyuguh laki-laki ini pada malam ini?” Seorang sahabat (Abu Thalhah) pun menjawab, “Saya wahai Rasulullah”. Abu Thalhah kemudian pulang ke rumah dan bertanya kepada isterinya, “Ini adalah tamu Rasulullah, janganlah kamu menyimpan makanan”. Isteri menjawab, “Demi Allah saya tidak menyimpan sedikitpun kecuali jatah makan malam anak kita”. Abu Thalhah berkata, “Jika anak kita minta makan, tidurkan saja dia. Matikan lampu, biarlah malam ini perut kita lapar”. Pagi harinya lelaki tersebut datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau pun bersabda, “Sungguh Allah heran dengan suami isteri itu”. (Muttafaqun ‘alaihi)
Setelah kejadian tersebut, turunlah firman Allah ta’ala berikut:
...وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بـِهِمْ خَصَاصَةٌ...
“…dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan….” (QS. Al Hasyr: 9)
Apa yang dilakukan oleh sahabat Abu Thalhah dan keluarganya itulah yang disebut itsar, mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Itulah contoh akhlaq mulia yang diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat. Ajaran Islam bukan mengajarkan take and give. Ajaran Islam menganjurkan agar orang-orang yang beriman senantiasa give, give, and give. Bahkan ketika dalam keadaan sulit pun, seorang mukmin dianjurkan untuk mendahulukan kepentingan saudaranya sesama mukmin, daripada dirinya sendiri. Jika akhlaq itsar ini bisa menjadi budaya antara sesama mukmin, insyaallah akan tercipta sebuah persaudaraan yang kuat dan kokoh. Hal itu karena setiap mukmin tidak lagi mementingkan egonya sendiri. Bukankah kebanyakan percekcokan, pertengkaran, dan permusuhan terjadi karena setiap pihak ingin menang sendiri?
4.     Mendamaikan saudara yang bertikai
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya…” (QS. Al-Hujurat: 9)
Ayat tersebut dengan sangat gamblang menjelaskan bahwa hendaknya setiap mukmin berusaha untuk menjaga tali persaudaraan antar sesama mukmin.  Jika terjadi pertikaian, pertengkaran, ataupun permusuhan antar sesama orang yang beriman, hendaknya orang mukmin itu berusaha dengan segenap upaya untuk mendamaikannya.
Setelah Khalifah Ali ibn Abi Tholib wafat, terjadi perpecahan antar umat Islam. Umat Islam di Kuffah (Iraq) mengangkat sayyidina Hasan ibn Ali sebagai khalifah. Sementara umat Islam di Syam mengangkat Mu’awiyah ibn Abi Sufyan sebagai khalifah. Pertikaian dan peperangan pun terjadi antar kedua pihak. Melihat fenomena yang mengiris hati ini, sayyidina Hasan mengambil inisiatif untuk menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada Mu’awiyah dengan tujuan agar umat Islam bersatu hidup dalam kedamaian. Kepada penduduk Kufah yang sangat mencintainya beliau berkhutbah, “Sesungguhnya orang yang paling cerdas adalah dia yang bertaqwa. Sebaliknya orang yang bodoh adalah dia yang mudah melakukan dosa. Demi terciptanya perdamaian antar umat Islam dan agar mereka tidak mati sia-sia, maka aku serahkan sepenuhnya urusan pemerintahan kepada Mu’awiyah”. Begitulah sayyidina Hasan. Dengan rendah hati beliau menyerahkan kekuasaan kepada saudaranya sesama muslim agar terjadi perdamaian antar umat Islam.
Dalam lingkup yang lebih kecil, dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga, dan bermasyarakat, hendaknya setiap mukmin juga berusaha mendamaikan saudara-saudaranya yang terlibat dalam persengketaan atau permusuhan. Jangan malah “ngobor-ngobori”, memperuncing perselisihan, atau malah menyebarkan fitnah yang mengakibatkan orang lain bermusuhan.
Marilah kita menteladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang senang mendamaikan orang-orang yang berselisih.
“Diriwayatkan dari Abul ‘Abbas Sahl bin Sa’d as Sa’idiy. Telah datang kabar kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa terjadi “sesuatu yang buruk” (perselisihan) di antara Bani Umar bin ‘Auf. Beliaupun keluar bersama beberapa sahabat dan mendamaikan mereka”. (Muttafaqun ‘alaih, Riyadhus Sholihin; 137-138)
Di saat Bani Khazraj dan ‘Aus nyaris beperang karena ada sebagian orang Yahudi yang mengungkit-ungkit peperangan diantara mereka di masa lampau, Nabi shallallahu alaihi wa sallam datang dan mendamaikan mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun berhasil mendamaikan dua kelompok yang sudah lama bertikai dan mengikat mereka dalam sebuah persaudaraan yang berlandaskan iman.
Dari Abû Darda ra., ia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Maukah kalian kuberitahu suatu perkara yang lebih utama daripada derajat shaum, shalat, dan shadaqah. Para sahabat berkata, “Tentu saja ya Rasulullah!” Beliau lalu bersabda, “Pekara itu adalah mendamaikan perselisihan. Karena karakter perselisihan itu membinasakan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya, at-Tirmidzi ia berkata, “Hadits ini hasan shahih”).
5.     Tidak mengolok-olok, tidak mencela, dan tidak memanggil dengan gelar yang buruk
Ketika bangunan persaudaraan telah terbangun dengan kokoh, hendaknya kita menjaga bangunan tersebut agar tidak rusak, apalagi roboh. Hendaknya setiap mukmin berusaha agar persaudaraan yang telah terjalin antar sesama mukmin senantiasa terjaga dengan baik, bahkah lebih baik. Bagaimana caranya? Allah ta’ala berfirman:
يَـٰأَيُّهَاالَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٍ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ  وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ .. ﴿الحجرات: ۱۱﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan/meremehkan kaum yang lain. Boleh jadi mereka (yang diremehkan) lebih baik daripada mereka (yang meremehkan). Jangan pula wanita merendahkan wanita yang lain. Boleh jadi wanita (yang diremehkan) lebih baik daripada wanita (yang meremehkan). Janganlah kalian saling mencela dan janganlah kalian saling memanggil dengan panggilan yang buruk”. (QS. Al Hujurat: 11)
Melalui al-Qur`an Allah ta’ala memberikan tuntunan agar setiap mukmin hendaknya tidak merendahkan saudaranya sesama mukmin. Setiap mukmin tidak boleh mencela saudara sesama mukmin. Setiap mukmin hendaknya tidak memanggil saudaranya sesama mukmin dengan panggilan atau gelar yang buruk, yang tidak disukai oleh saudaranya tersebut.
Marilah kita hentikan sekarang juga kebiasaan mencela orang lain dengan perkataan, “bodoh”, “bento”, “goblok”, “kere”, dan perkataan-perkataan buruk yang lain. Mari kita segera menghentikan kebiasaan buruk memanggil orang lain dengan gelar yang jelek seperti, “ambon”, “gendut”, “si hitam”, atau yang lebih parah lagi “hai ahli bid’ah”, “hai kafir”. Sungguh perbuatan semacam itu haram hukumnya dan akan mendatangkan malapetaka bagi pelakunya baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, celaan, hinaan, dan panggilan yang buruk seperti itu sangat mungkin menimbulkan permusuhan antar sesama. Sementara di akhirat, orang yang suka mencela, menghina, dan memanggil orang lain dengan gelar yang buruk akan menjadi orang yang bangkrut. Bukankah perbuatan semacam ini merupakan bentuk kedholiman kepada orang lain?
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan:
“Orang yang benar-benar bangkrut  di antara umatku ialah orang yang pada hari kiamat membawa (sebanyak-banyak) pahala shalat, puasa dan zakat; tetapi (sementara itu) datanglah orang-orang yang menuntutnya, karena ketika (di dunia) ia mencaci ini, menuduh itu, memakan harta si ini, melukai si itu, dan memukul si ini. Maka diberikanlah pahala-pahala kebaikannya kepada si ini dan si itu. Jika ternyata pahala-pahala kebaikannya habis sebelum dipenuhi apa yang menjadi tanggungannya, maka diambillah dosa-dosa mereka (yang pernah didhaliminya) dan ditimpakan kepadanya. Kemudian dicampakkanlah ia ke api neraka.” (HR. Imam Ahmad, Muslim, dan Turmudzi)
6.     Tidak berprasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, dan tidak menggunjing
Jangan sampai seorang mukmin menjadi “rayap” yang menggerogoti bangunan persaudaraan antar orang-orang yang beriman. Jangan sampai seorang mukmin menjadi pelopor perpecahan dan pertikaian antar umat Islam. Oleh karena itu, orang yang beriman kepada Allah ta’ala dan Hari Akhir selayaknya menjauhi prasangka buruk...
يَـٰأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ صلى وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ج ...
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain…” (QS. Al Hujurat: 12)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian. Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/377, Maktabah Samilah)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya:
 “Jauhilah oleh kalian persangkaan yang buruk (dhon) karena dhon itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai sesuatu. Janganlah kalian saling hasad (dengki, iri hati), saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan….” (HR. Al-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)
Demikianlah. Perbuatan merendahkan, mencela, memanggil dengan gelar yang buruk, prasangka, mencari-cari kesalahan, dan menggunjing adalah perbuatan jelek yang sangat merugikan. Perbuatan-perbuatan semacam itu sangat mudah menyulut api permusuhan antar orang-orang yang beriman. Maka hendaknya setiap mukmin menjauhi perbuatan-perbuatn buruk tersebut. Semoga Allah ta’ala menjauhkan kita semua dari perbuatan-perbuatan buruk ini.
Semoga ungkapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait persaudaraan antar sesama mukmin, bisa membumi di zaman sekarang. Minimal di lingkungan keluarga, tetangga, pertemanan, persahabatan, dan masyarakat kita.
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Mukmin satu dengan mukmin yang lain itu bagaikan sebuah bangunan. Sebagian menguatkan bagian yang lain”. (HR. Imam Muslim, No. 6750, Maktabah Samilah)
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, saling menyayangi, dan saling membantu adalah seperti sebuah jasad. Jika salah satu anggota tubuh itu sakit, anggota yang lain ikut merasakan sakit, dengan tidak bisa tidur dan (merasakan) demam”. (HR. Imam Muslim, No. 6751, Maktabah Samilah)
والله أعلم بالصواب
Semoga bermanfaat.
M. Tajuddin, S.Hum.

Daftar Bacaan:
1.     Maktabah Samilah; Tafsir Ibnu Katsir, Shahih Bukhari, Shahih Muslim
2.     Riyadhus Sholihin lil-Imam an-Nawawi
3.     Mukhtashar Ihya Ulumiddin, Imam al-Ghazali
4.     Wawasan al-Qur`an, Prof. Dr. Quraish Shihab
5.     Rumah Hati Dengan Cahaya Ilahi (Tafsir Tematik), KH. M. Ihya Ulumiddin
6.     Keukenhof, Taman Wisata Hati, KH. M. Ihya Ulumiddin

Rabu, 12 April 2017

Perbaiki Shalat, Jangan Turuti Syahwat

 
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوْا الصَّلَوةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ  فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti yang menyia-nyiakan shalat dan menuruti syahwat. Maka mereka (pengganti) itu kelak akan menemui ghoyyun.” (QS. Maryam: 59)
Yang dimaksud ‘pengganti’ adalah ‘generasi akhir zaman’. ‘Menyia-nyiakan shalat’ berarti ‘meninggalkan shalat fardlu’. ‘Menuruti syahwat’ berarti ‘melakukan berbagai ma’siat, tidak melaksanakan perintah Allah dan melanggar larangan Allah’. Sedangkan ‘ghoyyun’  bermakna ‘kerugian di akhirat’ atau ‘sebuah jurang di neraka’. (lihat tafsir Ibnu Katsir)
Ketika Shalat Disia-siakan
Sebuah survey yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) bersama Goethe Institute di 33 provinsi di Indonesia pada bulan November 2010. Diantara hasil survei tersebut adalah bahwa kaum muda Islam yang selalu menunaikan shalat 5 waktu (28,7 persen), yang sering shalat 5 waktu (30,2 persen), yang kadang-kadang shalat 5 waktu (39,7 persen), yang tidak pernah shalat 5 waktu (1,2 persen).
Survey tersebut memperlihatkan bahwa kaum muda Islam yang senantiasa melaksanakan shalat fardlu hanya 28,7 persen dan sisanya –mayoritas- tidak selalu menunaikan shalat fardlu lima waktu alias shalatnya bolong. Padahal shalat fardlu adalah tiang agama. Jika rusak shalat fardlunya, rusaklah agamanya.
Pokok semua perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad” (HR. Imam Ahmad, 5/231, dan Imam at-Tirmidzi, 2/1314)
Dalam sebuah kesempatan Rasulullah menyampaikan: “Ada lima shalat yang telah Allah ta’ala wajibkan atas hamba-hambaNya, barangsiapa menunaikannya, tidak mengabaikannya dengan menyepelekan (meremehkan) kedudukannya, maka Allah berjanji untuk memasukkannya ke dalam surga”. (HR. Imam Abu Dawud, 2/62)
"(Malaikat penjaga neraka bertanya kepada penghuni neraka) Apakah yang memasukkan kalian ke dalam Saqar (neraka)?. Mereka menjawab: Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat”. (QS. Al-Muddatstsir : 42-43)
Menuruti Syahwat
Apakah syahwat itu? Syahwat adalah hal-hal yang diingini, disukai, dan disenangi. Ada berbagai macam syahwat. Diantaranya adalah syahwat perut (makan, minum), syahwat farji (memegang, mencium lawan jenis, berhubungan seks), syahwat harta benda (uang, rumah, mobil), dan syahwat kekuasaan (menjadi pimpinan, dihormati, dimuliakan). Kata syahwat ini identik dengan kata ‘hawa’ (biasanya disebut hawa nafsu). Syahwat-syahwat ini harus dikendalikan, diatur dengan menggunakan wahyu dan akal agar senantiasa berada di wilayah ‘halal’, agar senantiasa mengikuti syariat Islam. Mengendalikan syahwat atau hawa nafsu merupakan sebuah kemuliaan dan pangkal dari berbagai macam kebaikan.
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan jiwanya dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)". (QS. An-Nazi’at: 40-41).
Sebaliknya, senantiasa menuruti syahwat (hawa nafsu) adalah sumber kerusakan dan kehinaan bagi manusia.
 “Hai Daud sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu maka ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Saad : 26)
Perbaiki Shalat, Jangan Turuti Syahwat
Ayat 59 surat Maryam di atas mengisyaratkan bahwa kebiasaan ‘menyia-nyiakan shalat’ sangat erat kaitannya dengan ‘menuruti syahwat’. Orang yang menyia-nyiakan shalat biasanya cenderung menuruti syahwat. Orang yang menyia-nyiakan shalat berarti tidak memiliki rasa takut kepada Allah ta’ala, keyakinannya kepada Allah dan hari akhir sangat tipis, dan jauh dari Allah ta’ala. Orang yang tidak punya rasa takut kepada Allah tentu lebih cenderung menuruti keinginan hawa nafsunya.
“….. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar…..” (QS. Al-Ankabut: 45)
Begitu juga orang yang mempunyai kebiasaan menuruti syahwat, biasanya cenderung menyia-nyiakan shalat. Bukankah syahwat manusia itu cenderung lebih menyukai hal-hal yang enak dan mudah? Padahal menjaga shalat fardlu itu merupakan sesuatu yang berat.
Kebiasaan menyia-nyiakan shalat dan menuruti syahwat ini sangat berbahaya karena menyebabkan pelakunya berada di dalam kesesatan, menjadi budak hawa nafsu, semakin jauh dari Allah ta’ala, dan akhirnya menderita di neraka. Oleh karena itu, marilah kita dan keluarga kita berusaha sekuat tenaga untuk senantiasa memperbaiki shalat dan tidak menuruti syahwat. Agar kita sekeluarga tidak berada di dalam kesesatan yang ujungnya adalah neraka jahannam. Na’udzu billah min dzalik.
Saudaraku yang semoga senantiasa dijaga oleh Allah ta’ala. Setidaknya ada empat hal yang perlu dilakukan untuk memperbaiki shalat:
1.   Aqimu ash-ashalat (tegakkan shalat). Artinya penuhi syarat dan rukun shalat. Perbaiki bacaan dan gerakan shalat. Bacaannya yang benar dan jelas. Gerakannya yang benar dan tuma’ninah.
2.   Haafidhu... (jagalah shalat). Artinya jagalah shalat Anda. Jangan sampai terlewat. Kerjakan shalat di awal waktu. Jangan menunda shalat.
3.   Khoosyi’un... (shalat dengan khusyu’). Artinya menghadirkan hati ketika shalat. Saat melaksanakan shalat, hendaknya kita merasa sedang sowan kepada Allah ta’ala. Kita hayati makna setiap gerakan dan bacaan shalat.
4.   Daaimun... (rutin, istiqomah). Artinya kita musti terus-menerus, istiqomah, mengerjakan shalat. Jangan sampai bolong.
Terlebih dari itu semua, mari kita membiasakan shalat dengan berjama’ah karena hal itu lebih memungkinkan agar shalat kita diterima. Lagi pula, bukankah shalat berjama’ah lebih utama dari pada shalat sendirian dengan selisih 27 derajat?
Selanjutnya, marilah kita berusaha semaksimal mungkin untuk mengendalikan syahwat atau hawa nafsu kita dengan berbagai cara, diantaranya: 
     1. Senantiasa gunakan syariat dan akal sehat untuk mempertimbangkan keinginan kita.
Jika syahwat kita mengajak kita untuk melakukan suatu hal, hendaknya kita konsultasikan dulu kepada syariat dan akal sehat. Apakah hal itu halal atau haram? Apakah hal itu bermanfaat di dunia dan akhirat atau malah membahayakan?
Untuk itu kita perlu terus -menerus belajar ilmu-ilmu agama Islam, baik secara langsung kepada kiai atau ustadz maupun dengan membaca buku-buku agama.
2.   Berpuasa sunnah
Dengan berpuasa kita berlatih untuk mengendalikan syahwat atau keinginan-keinginan kita.
“Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab ia dapat menjadi perisai baginya.” (Muttafaq Alaihi)
      3. Memperbaiki hubungan dengan Allah ta’ala dengan memperbaiki shalat, membaca dan mentadabburi al-Qur`an, membiasakan diri berbuat kebaikan, memberi manfaat kepada orang lain, serta memperbanyak dzikrullah.
Jika hubungan kita dengan Allah ta’ala baik, insyaallah Dia kan senantiasa melimpahkan taufiq-Nya kepada kita, sehingga kita diberi kemampuan untuk mengendalikan syahwat atau hawa nafsu kita.      
Semoga Allah ta’ala senantiasa melimpahkan taufiq-Nya kepada kita sekeluarga sehingga kita sekeluarga senantiasa mampu untuk menjaga dan memperbaiki shalat serta mengendalikan syahwat. Amin.
Wallahu a’lam bish-shawab
[M. Tajuddin]